Sabtu, 31 Mei 2014

Permukiman Umum



A. PENDAHULUAN
Pembangunan perumahan dan permukiman dewasa ini menunjukkan perkembangan yang cukup besar, dimana hal tersebut merupakan salah satu solusi untuk memenuhi tingginya tingkat kebutuhan perumahan dan permukiman sebagai akibat dari meningkatnya jumlah penduduk terutama diperkotaan.
Kondisi lain yang terkait dengan pengembangan perumahan dan permukiman adalah ketersediaan lahan yang semakin sempit dengan harga lahan yang mahal, terutama di perkotaan. Kondisi ini menciptakan pilihan untuk membangun rumah susun dalam skala besar sebagai solusi untuk mengatasi keterbatasan lahan di perkotaan itu sendiri.
Dengan melihat kondisi tersebut diatas maka perlu dibangun suatu sistem yang dapat memberikan kemungkinan dapat memberikan solusi untuk mengatasi permasalahan penyediaan perumahan. Salah satu solusi tersebut adalah kerja sama antar berbagai pihak baik pemerintah maupun swasta untuk pemenuhan kebutuhan perumahan dan permukiman bagi masyarakat. Dengan pola kerja sama akan diperoleh banyak manfaat antara lain terpenuhinya kebutuhan perumahan.

B. TUJUAN
1. Mendeskripsikan batasan permukiman secara umum.
2. Menjelaskan karakteristik permukiman umum.
3. Mendeskripsikan faktor penyebab terjadinya permukiman umum.
4. Mendeskripsikan proses dari permukiman umum.
5. Menjelaskan kebijakan pada permukiman umum.

C. ISI / HASIL
1. Batasan Permukiman Umum
Pengertian dasar permukiman dalam Undang-Undang No.1 tahun 2011 adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain dikawasan perkotaan atau kawasan perdesaan.
Permukiman adalah area tanah yang digunakan sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung peri kehidupan dan merupakan bagian dari lingkungan hidup di luar kawasaan lindung baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan.
Menurut Koestoer (1995) batasan permukiman adalah terkait erat dengan konsep lingkungan hidup dan penataan ruang. Permukiman umum termasuk ke dalam skala meso, sehingga lebih menekankan pada unsur-unsur kondisi lingkungan sekitar.
            Permukiman umum merupakan kompleks permukiman untuk masyarakat secara umum. Berikut beberapa contoh yang termasuk permukiman umum.
a. Rumah Susun






Gambar 01. Rumah Susun
Penyediaan permukiman berupa rumah susun yang ditujukan bagi konsumen golongan menengah ke bawah menjadi salah satu alternatif yang efisien untuk menyikapi konflik kebutuhan perumahan.   Menurut UU No.16 tahun 1985 tentang rumah susun. Rumah Susun diartikan sebagai berikut :
Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horisontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama. Jadi bisa dikatakan bahwa rumah susun merupakan suatu pengertian yuridis arti bangunan gedung bertingkat yang senantiasa mengandung sistem kepemilikan perseorangan dan hak bersama, yang penggunaannya bersifat hunian atau bukan hunian. Secara mandiri ataupun terpadu sebagai satu kesatuan sistem pembangunan atau Rumah Susun adalah bangunan yang dibangun untuk menampung sekumpulan manusia yang terorganisir kedalam suatu wadah dengan pertimbangangan kehidupan manusia hidup secara layak secara horizontal dan vertikal dengan sistem pengelolaan yang menganut konsep kebersamaan (https://sites.google.com/site/arkideaproperty/input/info-rumah-susun/pengertian-rumah-susun. Diakses pada tanggal 23 April 2014).







Gambar 02. Perumahan
b. Apartemen
Secara definitif, apartemen hampir sama dengan rumah susun tetapi berindikasi untuk golongan menengah ke atas yang merupakan salah satu jenis permukiman yang cocok untuk kawasan berkepadatan tinggi dan dekat dengan lokasi perdagangan (komersial).
c. Ruko






Gambar 03. Ruko
Pembangunan ruko merupakan salah satu upaya efisiensi penggunaan lahan terutama dalam mengembangkan kebutuhan warga kota akan perumahan sekaligus sebagai tempat usaha. Sebagian besar berada dekat area perumahan dan yang lain tersebar di pusat-pusat perdagangan. (http://id.shvoong.com/social-sciences/2268537-pengertian-perumahan/#ixzz2ziQdPm8N. Diakses pada tanggal 23 April 2014).
2. Karakteristik Permukiman Umum
Menurut Parwata (2004) permukiman terdiri dari: (1) isi, yaitu manusia
sendiri maupun masyarakat; dan (2) wadah, yaitu fisik hunian yang terdiri dari alam dan elemen-elemen buatan manusia. Dua elemen permukiman tersebut, selanjutnya dapat dibagi ke dalam lima elemen yaitu: (1) alam yang meliputi: topografi, geologi, tanah, air, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan iklim; (2) manusia yang meliputi: kebutuhan biologi (ruang,udara, temperatur, dsb), perasaan dan persepsi, kebutuhan emosional, dan nilai moral; (3) masyarakat yang meliputi: kepadatan dan komposisi penduduk, kelompok sosial, kebudayaan, pengembangan ekonomi, pendidikan, hukum dan administrasi; (4) fisik bangunan yang meliputi: rumah, pelayanan masyarakat (sekolah, rumah sakit, dsb), fasilitas rekreasi, pusat perbelanjaan dan pemerintahan, industri, kesehatan, hukum dan administrasi; dan (5) jaringan (net work) yang meliputi: sistem jaringan air bersih, sistem jaringan listrik, sistem transportasi, sistem komunikasi, sistem manajemen kepemilikan, drainase dan air kotor, dan tata letak fisik.
Karakteristik kawasan permukiman penduduk perdesaan ditandai terutama
oleh ketidakteraturan bentuk fisik rumah. Pola permukimannya cenderung berkelompok membentuk perkampungan yang letaknya tidak jauh dari sumber air,
misalnya sungai. Pola permukiman perdesaan masih sangat tradisional banyak mengikuti pola bentuk sungai, karena sungai disamping sebagai sumber kehidupan sehari-hari juga berfungsi sebagai jalur transportasi antar wilayah. Perumahan di tepi kota (desa dekat dengan kota) membentuk pola yang spesifik di wilayah desa kota. Pada saat pengaruh perumahan kota menjangkau wilayah ini, pola permukiman cenderung lebih teratur dari pola sebelumnya. Selanjutnya pembangunan jalan di wilayah perbatasan kota banyak mempengaruhi perubahan pola penggunaan lahan dan pada gilirannya permukiman perdesaan berubah menjadi pola campuran.
            Pada permukiman umum memiliki prasarana lingkungan dan fasilitas lingkungan yang bersamaan. Berikut karakteristik rumah susun yang merupakan salah satu dari jenis permukiman umum.
                 Berdasarkan peraturan pemerintah, karakteristik rumah susun di Indonesia memiliki ketetapan standar sebagi berikut :
1)   Satuan Rumah Susun
·      Mempunyai ukuran standar minimum 18 m2, lebar muka minimal 3 meter.
·      Dapat terdiri dari satu ruang utama (ruang tidur) dan ruang lain (ruang penunjang) di dalam dan/atau diluar ruang utama.
·      Dilengkapi dengan sistem penghawaan dan pencahayaan buatan yang cukup, sistem evakuasi penghuni yang menjamin kelancaran dan kemudahan, serta penyediaan daya listrik yang cukup, serta sistem pemompaan air.
·      Batas pemilikan satuan rumah susun dapat berupa ruang tertutup dan/atau sebagian terbuka dan/atau ruang terbuka.
2)   Benda Bersama
     Benda bersama dapat berupa prasarana lingkungan dan fasilitas lingkungan.

3)   Bagian Bersama
     Bagian bersama dapat berupa ruang untuk umum, struktur, dan kelengkapan rumah susun, prasarana lingkungan dan fasilitas lingkungan yang menyatu dengan bangunan rumah susun.
4)   Prasarana Lingkungan
     Prasarana lingkungan berupa jalan setapak, jalan kendaraan sebagai penghubung antar bangunan rumah susun atau keluar lingkungan rumah susun, tempat parkir, utilitas umum yang terdiri dari jaringan air limbah, sampah, pemadam kebakaran, listrik, gas, telepon, dan alat komunikasi lainnya.
5)   Fasilitas Lingkungan
     Lingkungan rumah susun harus dilengkapi fasilitas perniagaan dan perbelanjaan, lapangan tebuka, kesehatan, pendidikan, peribadatan, pelayanan umum, serta pertanaman.
                 Menurut Yudohusodo dalam Audy (2008 : 9), rumah susun memiliki karakteristik yang berbeda dengan hunian horizontal. Rumah susun mengandung dualism sistem kepemilikan, yaitu kepemilikan seorangan dan bersama baik dalam bentuk ruang maupun benda. Sistem kepemilikan bersama yang terdiri dari bagian-bagian yang masing-masing merupakan satuan yang dapat digunakan secara terpisah yang dikenal dengan istilah condominium. Sistem ini diwajibkan untuk mengadakan pemisahan hak dari masing-masing satuan yang dilaksanakan dengan pembuatan akta pemisahan yang mengandung nilai perbandingan proporsional yang akan digunakan sebagai penerbitan sertifikat hak milik atas satuan yang bersangkutan.
Tabel 01. Tipe Unit Rumah Susun

                 Tipe unit rumah susun juga beragam. Kisaran luas unit rumah susun pada umumnya minimal 18m2 dan paling besar adalah 50 m2.
                                                           
Tipe Unit
Fasilitas
Tipe 18 m2
Tipe 21 m2
Tipe 24 m2
Tipe ini biasanya untuk keluarga muda atau seseorang yang belum memiliki keluarga
- 1 kamar tidur
- ruang tamu/keluarga
- kamar mandi
- dapur/pantry


Tipe 30 m2
Tipe 36 m2
Tipe 42 m2
Tipe 50 m2
Tipe ini untuk keluarga yang sudah memiliki anak
- 2 kamar tidur
- ruang tamu / keluarga
- kamar mandi / WC
- dapur / pantry
- ruang makan
sumber : Rosfian (2009)


                 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Harsiti (2003:99-115) pola perilaku masyarakat penghuni rumah susun dalam melestarikan fungsi lingkungan rumah susun adalah sebagai berikut :
1)   Sikap terhadap lingkungan ikut menentukan perilaku melestarikan fungsi lingkungan permukiman. Makin tinggi sikap terhadap lingkungan maka makin baik perilaku melestarikan fungsi lingkungan permukiman.
2)   Motivasi hidup sehat ikut menentukan perilaku melestarikan fungsi lingkungan permukiman. Makin kuat motivasi hidup sehat, maka makin baik perilaku masyarkat dalam melestarikan fungsi lingkungan. Sehingga untuk dapat melestarikan fungsi lingkungan permukiman, pola hidup sehat harus ditanamkan.
3)   Status sosial ekonomi turut menentukan. Makin tinggi status sosial ekonomi maka makin baik perilaku melestarikan fungsi lingkungan permukiman.
       
            Dari ketiga faktor tersebut, faktor yang paling kuat dalam menentukan perilaku melestarikan lingkungan secara berurutan adalah (1) status sosial, (2) sikap terhadap lingkungan, dan (3) motivasi hidup sehat (https://www.google.co.id/url. Diakses pada tanggal 23 April 2014)
3. Faktor Penyebab Terbentuknya Permukiman Umum
Pemukiman merupakan kebutuhan utama/primer yang harus dipenuhi oleh manusia. Permukiman tidak hanya dapat dilihat sebagai sarana kebutuhan hidup, tetapi lebih jauh adalah proses bermukim manusia dalam rangka menciptakan suatu tatanan hidup untuk masyarakat dan dirinya dalam menampakkan jati diri.
Seiring berjalannya waktu, dengan bertambahnya jumlah penduduk setiap saat membuat lahan yang dibutuhkan untuk membuat permukiman semakin meningkat. Untuk menanggulangi adanya keterbatasan lahan maka diperlukan suatu aturan/ teknik yang melandasi dalam membuat suatu permukiman. Permukiman umum merupakan salah satu program permerintah yang dibuat untuk menanggulangi adanya permasalahan lahan untuk permukiman. Berikut faktor penyebab dari terbentuknya rumah susun.
 Pengaturan perihal perlunya pemukiman telah diarahkan pula oleh GBHN (Garis Besar Haluan Negara) yang telah menekankan pentingnya untuk meningkatkan dan memperluas adanya pemukiman yang layak baik seluruh masyarakat dan karenanya dapat terjangkau seluruh masyarakat terutama yang berpenghasilan rendah.
Untuk selanjutnya dalam rangka untuk peningkatan daya guna dan hasil guna tanah bagi pembangunan perumahan dan pemukiman, serta meningkatkan efektifikas dalam penggunaan tanah terutama pada lingkungan/daerah yang padat penduduknya, maka perlu dilakukan penataan atas tanah sehingga pemanfaatan dari tanah betul-betul dapat dirasakan oleh masyarakat banyak. Berkaitan dengan hal tersebut, maka mulai terpikirkan untuk melakukan pembangunan suatu bangunan yang digunakan untuk hunian untuk kemudian atas bangunan dimaksud dapat digunakan secara bersama-sama dengan masyarakat lainnya, sehingga terbentuklah adanya rumah susun.
Pembangunan rumah susun adalah suatu cara yang jitu untuk memecahkan masalah kebutuhan dari pemukiman dan perumahan pada lokasi yang padat, terutama pada daerah perkotaan yang jumlah penduduk selalu meningkat, sedangkan tanah kian lama kian terbatas. Pembangunan rumah susun tentunya juga dapat mengakibatkan terbukanya ruang kota sehingga menjadi lebih lega dan dalam hal ini juga membantu adanya peremajaan dari kota, sehingga makin hari maka daerah kumuh berkurang dan selanjutnya menjadi daerah yang rapih,bersih, dan teratur. Peremajaan kota telah dicanangkan oleh pemerintah melalui Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 1990, tentang peremajaan pemukiman kumuh yang berada di atas tanah negara. Menindaklanjuti dari Instruksi Presiden tersebut, maka pada tanggal 7 Januari 1993, telah diterbitkan adanya surat edaran dengan Nomor: 04/SE/M/1/1993, yang menginstruksikan kepada seluruh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan Bupati/Walikotamadya Kepada Daerah Tingkat II untuk melaksanakan pedoman umum penanganan terpadu atas perumahan dan pemukinan kumuh, yang antara lain dilakukan dengan peremajaan dan pembangunan rumah susun. 
Konsep pembangunan yang dilakukan atas rumah susun yaitu dengan bangunan bertingkat, yang dapat dihuni bersama, dimana satuan-satuan dari unit dalam bangunan dimaksud dapat dimiliki secara terpisah yang dibangun baik secara horizontal maupun secara vertikal. Pembangunan perumahan yang demikian itu sesuai dengan kebutuhan masyarakat. (https://sites.google.com/site /arkideaproperty/input info-rumah-susun/ pengertian -rumah-susun. Diakses pada tanggal 23 April 2014)
Elemen-elemen fisik ini berurutan dalam struktur tertentu sehingga menghasilkan pola-pola dalam ekosistem atau pola-pola dalam lingkungan. Sebagaimana suatu pola selalu memiliki order, dimulai dari suatu yang lebih kecil dan teratur dan lama kelamaan bergabung menjadi lebih besar. Tiap pola selalu berhubungan dengan pola diatasnya yang lebih besar dan juga pola dibawahnya yang lebih kecil.
Dalam sebuah permukiman informal, material pembentuk pola terdiri dari beberapa hal seperti:
1.      Elemen lingkungan (ekosistem alami)
Elemen lingkungan merupakan segala massa pembentuk ekosistem yang merupakan bentukan alami, seperti air, sumber air, sungai, vegetasi, gunung, kontur dan lain sebagainya. Elemen-elemen fisik yang berkaitan langsung dengan alam dan terkait terjadinya transfer material dan transfer energy dalam sebuah ekosistem dengan sistem sosial yang ada dalam ekosistem tersebut. (Martin, G.; Human Ecology, 2001)
2.      Sirkulasi (ekosistem buatan)
Sirkulasi merupakan ruang-ruang yang terbentuk dengan fungsi menghubungkan antara satu fungsi dengan fungsi yang lainnya. Pada jalur sirkulasi inilah dapat dikenali hirarkinya, baik sebagai sirkulasi utama, maupun sirkulasi sekunder. Sirkulasi utama atau sekunder biasanya dapat dikenali dengan, banyaknya orang yang melalui sirkulasi tersebut, hubungan akses yang diciptakan dari sirkulasi tersebut, besaran sirkulasinya, material yang digunakan, hingga elemen pembentuk ruang sirkulasinya.
Selain itu, pada ruang-ruangsirkulasi ini terdapat pada simpul sirkulasi (junction). Simpul ini ada yang terbentuk karena sebuah pengakhiran dari jalur sirkulasi, ruang yang tercipta pada sudut saat sirkulasi berbelok, pertemuan tiga jalur sirkuasi, serta pertemuan empat jalur sirkulasi.
Ada 4 hal yang harus diperhatikan dalam membaca simpul :
a. Tiap simpul biasanya terhubung dengan jalan-jalan utama di sekeliling komunitas.
b. Memiliki konsentrasi atau kepadatan aktifitas di dalamnya. Dengan luasan yang kecil dan secukupnya
c. Terdapat pengelompokan fasilitas publik yang ada sehingga dapat digunakan dengan berbagai aktifitas yang serupa.
d. Tiap simpul biasanya terdistribusi dalam komunitas.
3. Massa bangunan (ekosistem buatan)
Massa bangunan dapat berupa rumah, warung, hingga massa public seperti sekolah, masjid, dan lain sebagainya. Massa –massa ini membentu ruang. Pemahaman pengguna ruang mengenai ruang mungkin saja sebagai suatu wadah bagi objek atau suatu bingkai yang siap diisi, hal ini tergantung dari pengalaman ruang masing – masing pribadi.
4. Proses Terbentuknya Permukiman Umum
Karakter spasial ini ternyata terbentuk dari proses bermukim masyarakatnya dengan pertimbangan menyesuaikan terhadap topografi lahan, tuntutan lingkungan, penyesuaian terhadap kebutuhan hidup, kebijakan pemerintahan dan budaya bermukim masyarakatnya sendiri. Pola penyebaran pembangunan perumahan dan permukiman di wilayah desa kota menurut Koestoer (1995), pembentukannya berakar dari pola campuran antara ciri perkotaan dan perdesaan. Ada perbedaan mendasar pola pembangunan permukiman di perkotaan dan perdesaan. Wilayah permukiman di perkotaan sering disebut sebagai daerah perumahan yang memiliki keteraturan bentuk secara fisik. Artinya sebagian besar rumah menghadap secara teratur ke arah kerangka jalan yang ada dan sebagian besar terdiri dari bangunan permanen, berdinding tembok dan dilengkapi dengan penerangan listrik. Kerangka jalannya pun ditata secara bertingkat mulai dari jalan raya, penghubung hingga jalan lingkungan atau lokal.
Dalam rangka peningkatan daya guna dan hasil guna tanah bagi pembangunan perumahan dan pemukiman serta mengefektifkan penggunaan tanah terutama di daerah-daerah berpenduduk padat, maka perlu dilakukan penataan atas tanah sehingga pemanfaatannya betul-betul dapat dirasakan oleh masyarakat banyak. Salah satu contoh pembangunan yang dapat digunakan untuk mengefektifkan penggunaan tanah yaitu Rumah Susun. Rumah Susun atau disingkat Rusun, Kerap dikonotasikan sebagai apartement dengan versi sederhana, walaupun sebenarnya apartement bertingkat sendiri bisa dikategorikan sebagai rumah susun. Rusun menjadi jawaban atas terbatasnya lahan untuk pemukiman di daerah perkotaan. Karena mahalnya harga tanah di kota besar maka masyarakat terpaksa membeli rumah di luar kota. Pembangunan rumah susun merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah kebutuhan perumahan dan pemukiman terutama di daerah perkotaan yang  jumlah penduduknya terus meningkat, karena dengan pembangunan rumah susun dapat mengurangi penggunaan tanah, ruang terbuka lebih lega dan sebagai salah satu cara peremajaan kota bagi daerah kumuh.
Konsep pembangunan rumah susun telah diimplementasikan tidak hanya dalam bentuk rumah susun hunian saja tetapi juga rumah susun bukan hunian (perkantoran,perdagangan dll) dan rumah susun MIXED USE (hunian dan bukan hunian yang merupakan satu kesatuan) hal ini di karenakan hunian masal memerlukan berbagai prasyarat  penting, yaitu lokasi dengan akses yang cukup bagus diantaranya lebar, ketersediaan transportasi umum/massal yang sudah berjalan serta keberadaan sistem infrastruktur kota yang memadai atau mudah dikembangkan. Disini jelas terlihat fungsi-fungsi yang dapat ”dicampurkan” ke dalam kompleks hunian rusunami adalah yang berkaitan dengan kebutuhan sehari-hari, antara lain perbelanjaan (pasar / mini market), pelayanan umum (pos, telpon/wartel/warnet, ATM, klinik kesehatan, dll), akomodasi sehari-hari (warung makan / restoran, food court, salon, voucher pulsa, dll) serta akomodasi khusus (ruang sebaguna, ruang pertemuan, rekreasi, dll). Sedangkan fungsi komersial lain (bersifat kebutuhan sekunder) akan tumbuh dengan sendirinya seiring pertumbuhan hunian yang ada. Keuntungan yang diperoleh pada awalnya adalah investasi infrastruktur yang lebih murah apabila dibuat secara terpadu. Penyediaan sarana parkir dapat digunakan secara bergantian karena pola kegiatan yang berbeda waktu (didiharyadi.wordpress.com. Diakses pada tanggal 23 April 2014).
5. Kebijakan pada Permukiman Umum
Perkembangan permukiman di daerah perkotaan tidak terlepas dari pesatnya laju pertumbuhan penduduk perkotaan baik karena faktor pertumbuhan penduduk kota itu sendiri maupun karena faktor urbanisasi. Dampak negatif urbanisasi yang telah berlangsung selama ini lebih disebabkan oleh tidak seimbangnya peluang untuk mencari nafkah di daerah perdesaan dan perkotaan. Beberapa pengamat meyakini bahwa salah satu penyebab mengalirnya penduduk pedesaan ke kota-kota akibat kekeliruan adopsi paradigma pembangunan yang menekankan pada pembangunan industrialisasi besar-besaran yang ditempatkan di kota-kota besar sehigga memunculkan adanya daya tarik yang sangat kuat untuk mengadu nasibnya di kota yang dianggap mampu memberikan masa depan yang lebih baik dengan penghasilan yang lebih tinggi, sementara pendidikan dan ketrampilan yang mereka miliki kurang memadai untuk masuk disektor formal (Yunus, 2005).
Seiring dengan pertumbuhan penduduk di daerah perkotaan, maka kebutuhan penyediaan akan prasarana dan sarana permukiman akan meningkat pula, baik melalui peningkatan maupun pembangunan baru. Selanjutnya pemenuhan akan kebutuhan prasarana dan sarana permukiman baik dari segi perumahan maupun lingkungan permukiman yang terjangkau dan layak huni belum sepenuhnya dapat  disediakan baik oleh masyarakat sendiri maupun pemerintah, sehingga kapasitas daya dukung prasarana dan sarana lingkungan permukiman yang ada mulai. Berikut kebijakan Pemerintah tentang Perumahan. Kepada para pengembang yang membangun RS/RSS, Pemerintah telah mengupayakan agar mendapatkan kredit dengan tingkat suku bunga yang relatif murah dibandingkan suku bunga pasar untuk membebaskan tanah. Kemudian biaya untuk mengurus sertifikat RSS dikurangi, hingga sekarang hanya Rp. 35.000. bahkan, biaya retribusi izin mendirikan bangunan RSS dihilangkan, setelah Menteri Negara Perumahan Rakyat melakukan koordinasi dengan Menteri Dalam Negeri. Kemudian untuk meningkatkan keterjangkauan masyarakat, Pemerintah juga membarikan subsidi suku bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Sehingga suku bunga KPR tahun 1991 untuk; RS dan RSS tipe 21 dan tipe 36 menjadi; RS tipe 21 menjadi 11%; dan RS tipe 36 menjadi 14%, sedangkan untuk rata-rata harga rumah sederhana tipe RS 36 sekitar Rp. 8.500.000,00 dan rumah sangat sederhana tipe 21 sekitar Rp. 6.500.000,00. Pemerintah telah menetapkan beberapa kebijakan program bantuan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Secara garis besar masyarakat yang dapat menerima bantuan tersebut adalah masyarakat yang berpenghasilan sampai dengan Rp. 1,3 juta per bulan. Pada masyarakat yang berpenghasilan lebih dari Rp. 1,3 juta per bulan diharapkan dapat mengikuti mekanisme pasar, artinya dapat mengembalikan semua biaya investasi penyelenggaraan rumah sangat sederhana tanpa bantuan subsidi Pemerintah. Dengan demikian, pada segmen pasar ini sepenuhnya dapat menarik minat  kemitraan dari masyarakat dan swasta untuk membiayai pengadaannya.
Bagi masyarakat yang berpenghasilan lebih rendah (Rp. 500.000 . Rp. 850.000) dan (Rp. 850.000 . Rp. 1.3000.000) Pemerintah merencanakan tidak membebani untuk pengembalian lahan, namun demikian sebagai segmen pasar ini masih menarik kemitraan masyarakat dan swasta. Masalah penyediaan lahan perlu diatur melalui kemitraan dengan pemilik lahan sehingga biaya investasinya dapat ditekan, pada akhir masa usia ekonomis, aset tersebut menjadi aset pemilik lahan. Lahan yang dipergunakan milik Pemerintah, masyarakat (kelompok atau individual) maupun milik swasta. Pada kelompok ini tidak mungkin diterapkan tarif seperti kelompok di atasnya, akan tetapi perlu dikembangkan tarif kombinasi yang dapat menampung masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah. Pada segmen pasar ini dimungkinkan pula penerapan tarif murah, bila tanah yang dipergunakan adalahmilik Pemerintah dan investasi pembiayaannya menggunakan  sumber dana. Pada kelompok miskin, yang berpenghasilan sampai dengan Rp. 350.000 dan (Rp. 350.000 . Rp. 500.000) setiap bulannya, diterapkan kredit yang relatif sangat murah dengan bantuan subsidi dari Pemerintah atau subsidi silang. Dengan demikian kelompok masyarakat ini yang biasanya tinggal di kawasan-kawasan miskin dapat memperoleh hunian yang layak. Keberhasilan pembangunan perumahan tersebut tidak lepas dari peran Pemerintah, khususnya Kantor Menteri Perumahan Rakyat yang terus berupaya secara aktif meningkatkan intensitas kegiatan monitoring, rapat koordinasi bersama Pemerintah Daerah dan pelaku pembangunan perumahan dengan semangat kemitraan, yang hasilnya cukup efektif dan dapat memacu aktivitas para pelaku pembangunan perumahan. (https://www.google.co.id/url. Diakses pada tanggal 23 April 2014)
 Sistem bangunan/gedung bertingkat yang ruang-ruangnya dapat dipakai secara individual sudah lama dikenal dan dilaksanakan di berbagai kota-kota besar di Indonesia, di mana pemegang hak atas tanah tersebut adalah sekaligus merupakan pemilik gedung. Awalnya hanyalah ada hubungan sewa menyewa antara pemilik tanah dan sekaligus pemilik bangunan dengan para pemakai dari ruang-ruang dalam bangunan/gedung bertingkat tersebut.
Dengan adanya Undang-undang Rumah Susun telah memperkenalkan untuk kemudian menjalankan adanya lembaga kepemilikan baru sebagai hak kebendaanm yaitu adanya hak milik satuan atas rumah susun (HMSRS) yang terdiri dari hak perorangan atas unit satuan rumah susun dan hak atas tanah bersama, atas benda bersama, serta atas bagian bersama, yang kesemuannya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan-satuan yang bersangkutan.

          Konsep dasar yang melandasari dari HMSRS adalah berpangkal dari teori tentang kepemilikan atas suatu benda, bahwa benda/bangunan dapat dimiliki oleh seseorang, dua orang, atau bahkan lebih, yang dikenal dengan istilah pemilikan bersama.
Pemilikan bersama atas suatu benda/bangunan pada intinya dikenal adanya dua macam kepemilikan yaitu kepemilikan bersama yang terikat dan kepemilikan bersama yang bebas.

          Pemilikan bersama yang terikat yaitu adanya ikatan hukum yang terlebih dahulu ada di antara para pemilik benda bersama, misalnya pemilikan bersama yang terdapat pada harta perkawinan. Para pemilik bersama tidak dapat secara bebas melakukan pemindahan haknya kepada orang lain tanpa adanya persetujuan dari pihak lainnya, atau selama suami dan isteri masih dalam ikatan perkawinan tidak memungkinkan untuk melakukan pembagian ataupun pemisahan harta perkawinan (kecuali adanya perjanjian kawin).
Pemilikan bersama yang bebas adalah dimaksudkan bahwa setiap para pemilik bersama tidak terdapat ikatan hukum terlebih dahulu, selain dari hak bersama menjadi pemilik dari suatu benda. Sehingga dalam hal ini adanya kehendak secara bersama-sama untuk menjadi pemilik atas suatu benda yang untuk digunakan secara bersama-sama. Bentuk kepemilikan bebas inilah yang di sebut dan dikenal dengan kondominium.
Sesuai dengan konsep tersebut maka, Undang-undang Rumah Susun telah merumuskan jenis pemilikan perorangan dan pemilikan bersama dalam suatu kesatuan jenis pemilikan yang baru yang disebut dengan Hak Milik Atas Satuan Rumah susun yang pengertiaannya adalah hak pemilikan perseorangan atas satuan (unit) rumah susun, meliputi hak bersama atas bangunan, benda dan tanah (https://sites.google.com/site/arkideaproperty/input/info-rumah-susun/pengertian-rumah-susun. Diakses pada tanggal 23 April 2014)
















DAFTAR PUSTAKA

           rumah-susun. Diakses pada tanggal 23 April 2014)
(https://www.google.co.id/url. Diakses pada tanggal 23 April 2014)
 didiharyadi.wordpress.com. Diakses pada tanggal 23 April 2014)
             rumah-susun. Diakses pada tanggal 23 April 2014)
https://www.google.co.id/url. Diakses pada tanggal 23 April 2014)
           perumahan/#ixzz2ziQdPm8N. Diakses pada tanggal 23 April 2014).
          rumah-susun. Diakses pada tanggal 23 April 2014).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar